Oleh: Erwin Kusumastuti, S.Th.I., M.Pd.
Sinopsis
Film ini berlatar tempat di Yogyakarta, dan berlatar waktu pada saat pandemi Covid- 19, sehingga semua sekolah menerapkan pembelajaran jarak jauh, film ini menceritakan tentang seorang guru Bimbingan Konseling bernama Bu Prani yang menerapkan sistem hukuman tidak seperti guru pada umumnya, beliau menggunakan istilah “Refleksi” yang pada awalnya sangat didukung oleh Yayasan pemilik sekolah tersebut karena penerapan sistem “Refleksi” ini cukup unik dan belum ada yang menerapkannya, hal ini mampu membuat siswa-siswi mengubah cara berfikir mereka setelah melakukan pelanggaran di sekolah, hal ini juga membuat Bu Prani terpilih sebagai kandidat untuk menjadi Wakil Kepala Sekolah di sekolah tersebut. Bu Prani juga memiliki keluarga kecil yang terdiri 4 Anggota keluarga, beliau memiliki 2 anak, 1 Laki- laki bernama Muklas dan 1 Perempuan bernama Tita, Saat ini suami dari Bu Prani memiliki penyakit Bipolar yang membuatnya harus kontrol ke psikiater secara rutin dan memakan biaya yang cukup banyak apalagi pada kondisi pandemi, Sang suami dari Bu Prani memiliki trauma karena kehabisan uang dan mengalami berbagai kegagalan dalam memulai bisnis yang akan di jalankan, beliau juga enggan meminum obat karena menurutnya lebih baik untuk digunakan membayar kontrakan yang belum dibayar selama kurang lebih 2 bulan.
Bu Prani pun memutuskan untuk membujuk suaminya agar mau meminum obat yang diberikan psikiater dengan cara menyuruh Muklas untuk membelikan putu di salah satu pasar, namun sang anak menolak karena memiliki kesibukan, begitu pula dengan Tita, ia juga menolaknya, Bu Prani pun memutuskan untuk berangkat sendiri ke pasar, di pasar Bu Prani menunggu antrian putu yang memang terkenal legend di daerah pasar tersebut, sehingga antriannya tentu tidak sedikit, disinilah konflik pertama dimulai, pada saat Bu Prani menunggu antrian banyak orang yang menyerobot antrian dengan cara menitipkan pesanan ke orang yang antriannya di depannya, Bu Prani awalnya hanya diam, lama-lama beliau juga tidak tahan akan adanya hal menyimpang tersebut, karena beliau juga dikejar jadwal latihan lompat tali untuk perlombaan beberapa waktu kedepan, dan beliau memutuskan untuk menegur salah satu dari penyerobot antrian, dan terjadi adu mulut di depan penjual putu tersebut, karena terjadi adu mulut penjual putu pun berusaha melerai kedua belah pihak dengan cara mendahulukan pesanan Bu Prani, namun dengan kondisi sedang marah Bu Prani mengatakan kata seperti sedang mengumpat padahal beliau mengatakan “Ah Suwi” (Ah Lama), tetapi banyak orang menganggap beliau berkata “Asui” (Anjing) kepada penjual putu yang memang usianya sudah cukup tua, lalu Bu Prani meniggalkan tempat tersebut dengan kondisi yang masih marah. Hal ini berujung viral karena Bu Prani di anggap terlalu emosional dan kurang sopan terhadap orang yang lebih tua.
Beliau tidak sadar bahwa hal tersebut menjadi viral di sosial media yang bahkan mulai mengacu ke ranah hukum karena orang yang memviralkan seakan-akan hanya menyorot kemarahan Bu Prani saja, tanpa menjelaskan kronologi sebenarnya. Hal ini berpengaruh ke karir Bu Prani, bahkan profesi kedua anaknya. Hal ini juga sangat cepat menyebar ke masyarakat sekitar, bahkan ke wali murid dan murid-murid di lingkungan sekolah dimana Bu Prani mengajar sekarang, tentu Yayasan cukup keberatan akan adanya hal yang bisa mencemarkan nama baik sekolah, mereka meminta Bu Prani untuk membuat permohonan maaf kepada wali murid agar masalah ini cepat selesai dan tidak menyebar lebih luas lagi ke public. Sang anak yang melihat ibunya di fitnah tidak mau hanya berdiam diri, Tita menyarankan untuk membuat video klarifikasi atas kejadian sebenarnya, ia menekankan bahwa kebenaran harus di tegakkan, hal ini memicu komentar dari sang penyerobot antrian yang adu mulut dengan beliau di pasar pada saat itu. Ini memancing opini netizen di media social untuk meyerang pihak Bu Prani, karena beliau tidak memiliki bukti kuat pada kasus ini, hujatan demi hujatan mulai masuk ke media sosial Bu Prani dan kedua anaknya, yang mana membuat keluarga Bu Prani semakin di benci masyarakat. Kejadian ini menarik perhatian dari para alumni peserta didik Bu Prani, mereka semua mendukung Bu Prani karena mereka telah merasakan dampak positif dari sistem “Refleksi” dari beliau, hal ini cukup menjadi udara segar bagi Bu Prani.
Seorang alumni yang bernama Gora juga membuat pernyataan untuk membantu Bu Prani bahwa “Refleksi” mampu menghilangkan kebiasaan bertengkarnya dan lebih bisa menghargai hidupnya maupun hidup orang lain, namun kali ini refleksi yang diberikan adalah membantu penjaga kuburan untuk menguburkan jenazah. Hal ini menjadi celah yang dimanfaatkan netizen untuk menyerang Bu Prani lagi, kali ini para alumni juga mencabut dukungan terhadap Bu Prani, selain itu teman kerja Tita juga memanfaatkan momentum ini untuk membuat konten yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, hal ini juga dilakukan dengan menuduh Bu Prani menyebarkan Covid kepada penjual putu hingga memberikan “Refleksi” kurang tepat kepada anak dibawah umur dengan perintah membantu penjaga kuburan dalam proses memakamkan jenazah, nyatanya sang penjual putu tidak berjualan dikarenakan kelelahan akibat viralnya tempat tersebut dan beliau berusia cukup tua untuk melayani pembeli sebanyak itu. Tita pun memutuskan untuk mengupload hasil rekaman wawancara itu ke publik dan juga dibantu personil band nya untuk melawan opini teman
kerjanya, namun masalah tak kunjung selesai, kali ini datang dari sang anak penjual putu yang tidak setuju dengan konten tersebut di upload, karena dianggap membunuh rezeki keluarganya, karena hal ini teman-teman band nya mencabut dukungannya kepada Tita sebab mereka mendapat serangan dari netizen yang tau tentang tidak setujunya anak dari sang penjual putu tersebut. Keadaan semakin memburuk ditambah hilangnya sang Ayah yang tak kunjung pulang selama semalam, namun sang ayah ternyata mencari jalan keluar dengan menemui psikiater yang juga menangani permasalahan dari Gora, dan ternyata Gora tidak mengalami trauma atau apapun seperti yang dituduhkan oleh netizen dan juga teman kerja Tita, hanya saja ia memiliki kenangan ketika ia membantu penjaga makam dalam mengubur jenazah, ia lalu sering berkunjung ke makam-makam yang berbeda karena hal itu bisa membangkitkan semangat dari dalam dirinya, namun hal ini tidak ingin Gora ungkapkan ke publik, begitu pula dengan Bu Prani yang tidak ingin memaksa Gora untuk mengungkapkannya ke publik meskipun pihak sekolah dan Yayasan terus menekan Bu Prani, beliau tidak gentar, bahkan beliau memilih mengundurkan diri dari sekolah itu, beliau lebih baik kaluar dari lingkungan kerja yang hanya mementingkan nama baik sekolah daripada berkata dan menegakkan kebenaran, dan cerita ditutup dengan Bu Prani yang pindah dari lingkungannya yang saat ini beserta seluruh keluarga kecilnya.
Review
Film “Budi Pekerti” yang baru-baru ini dirilis di bioskop menghadirkan narasi yang mendalam tentang dampak besar kehidupan di era media sosial. Kehati- hatian dalam menggunakan media sosial menjadi landasan utama untuk meminimalisir dampak buruk yang dapat merubah kehidupan pribadi seseorang menjadi sesuatu yang lebih kompleks dan tidak terduga.
Dalam konteks yang lebih luas, film “Budi Pekerti” juga mengangkat isu- isu sosial yang relevan dengan zaman modern, seperti penyebaran berita palsu dan ketidakpastian informasi. Kejadian yang dialami oleh Bu Prani mencerminkan bagaimana media sosial, jika tidak dielola dengan bijak, dapat menjadi sarana untuk menyebarluaskan informasi yang merugikan dan merusak reputasi seseorang. Film ini menyoroti pentingnya literasi digital dalam membentengi individu dan masyarakat dari dampak negatif tersebut.
Film ini membahas bahwa kurangnya etika atau budi pekerti dalam bermedia sosial dapat menciptakan lingkungan yang dipenuhi konflik dan ketidakharmonisan di tingkat sosial. Terjadi pula fenomena seperti cyberbullying, perdebatan yang tidak konstruktif, dan pembentukan opini tanpa dasar fakta.
Bu Prani, seorang guru BK di Jogjakarta, menjadi contoh nyata bagaimana kehidupan seseorang dapat hancur akibat viralitas negatif di media sosial. Kejadian sederhana di pasar yang terekam dan diunggah oleh netizen tanpa izin, berujung pada penyebaran berita palsu dan fitnah terhadap Bu Prani. Karir yang dibangun dengan susah payah selama dua puluh tahun hancur dalam waktu singkat akibat video singkat yang menyesatkan.
Selain itu, karakter Muklas, anak laki-laki Bu Prani yang menciptakan konten psikologis ala-ala animalus, memberikan sudut pandang tambahan tentang potensi eksploitasi positif dan negatif media sosial. Meskipun kontennya mendapatkan endorsement, film menggambarkan bahwa sukses di dunia digital juga dapat membawa risiko dan kerentanan, terutama ketika seseorang menjadi sasaran kontroversi online.
Film ini menggambarkan bahwa penggunaan media sosial yang cerdas dan etis sangat penting untuk mencegah penyebaran berita palsu, merugikan reputasi individu, dan menciptakan ketidakpastian informasi. Selain itu, kesadaran akan risiko dan konsekuensi perilaku kurang bijak di media sosial menjadi poin penting dalam membentuk budaya online yang lebih positif.
Dengan merinci dinamika kehidupan keluarga Bu Prani dan menggabungkannya dengan isu-isu sosial yang lebih luas, “Budi Pekerti” menjadi karya yang memberikan gambaran menyeluruh tentang kompleksitas kehidupan di era media sosial. Film ini mengajak penonton untuk merenungkan tidak hanya dampak individual dari perilaku online, tetapi juga dampaknya terhadap hubungan personal, karir, dan kesejahteraan emosional.
Sebagai kesimpulan, film “Budi Pekerti” memberikan gambaran yang mendalam tentang peran penting literasi digital dan etika dalam bermedia sosial di era modern. Kejadian dramatis yang menimpa Bu Prani menjadi cerminan kerasnya realitas dampak negatif dari penyebaran informasi yang tidak bertanggung jawab di dunia maya. Pentingnya berhati-hati dalam menggunakan media sosial, baik dalam menyebarkan informasi maupun dalam menanggapi konten online, menjadi titik sentral yang diangkat oleh film ini. Perlunya meningkatkan literasi digital dan mendukung perilaku bijak dalam bermedia sosial. Pendidikan tentang verifikasi informasi, pemahaman dampak psikologis dari interaksi daring, dan pemberdayaan individu untuk membuat keputusan yang cerdas secara digital menjadi langkah awal.
Sementara itu, perusahaan media sosial juga memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan online yang aman dan mendukung. Dengan membangun kesadaran kolektif akan etika bermedia sosial, diharapkan dapat tercipta ruang digital yang lebih sehat, inklusif, dan mendukung pertumbuhan positif individu dan masyarakat.